Bagaimana kondisi utang negara Indonesia saat ini? Indonesia negara kaya tapi kok berutang? Semuanya akan dijelaskan di sini dengan gaya bahasa sehari-hari.
Anda tentu pernah denger atau baca berita tentang utang negara Indonesia? Biasanya kalo ngomongin soal utang negara, banyak orang awam yang langsung berkesimpulan bahwa banyaknya utang negara adalah indikator kemerosotan ekonomi. Kalo lo perhatikan, tiap kali ada berita yang mengulas topik utang negara, belum apa-apa netizen udah berkomentar kira-kira seperti ini :
“Ini negara kok utangnya nggak lunas-lunas ya? Malah nambah utang melulu, malu-maluin banget deh!”“Katanya Indonesia ini negeri yang kaya raya, tapi kok ngutang?”"Makin ke sini kok utang Indonesia malah makin banyak, bukannya malah tambah dikit?""Apa perlu kita seluruh rakyat Indonesia ngumpulin koin, terus bayarin utang negara?"
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia ekonomi, gua merasa perlu untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Karena apa yang tersirat pada tipikal komentar-komentar netizen seperti di atas, adalah refleksi dari cara pikir pendek dan ketidaktahuan masyarakat awam tentang mekanisme ekonomi makro, khususnya dalam skala ekonomi negara.
Nah, pada kesempatan menulis kali ini, gua ingin mengupas topik utang negara Indonesia secara komprehensif dan cukup mendalam. Moga-moga apa yang gua tulis di sini bisa membuka perspektif baru dan menambah wawasan pembaca seputar dunia ekonomi makro.
Emang berapa sih utang negara kita?
Bicara soal utang, sebetulnya sejak negara kita lahir di tahun 1945, bisa dikatakan negara kita mewarisi utang dari pemerintahan kolonialis. Jadi secara teknis, dari sejak merdeka Indonesia udah punya utang, dan terus berlanjut dari pemerintahan Presiden Sukarno hingga ke pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Secara nominal, pada tahun 1960 utang negara Indonesia berada pada angkat Rp 21,25 triliun, hingga tahun 2016, utang negara kita berada pada angka Rp 3.400 triliun.
Wah, kalo dilihat dari segi nominal saja, utang Indonesia sejak 50 tahun terakhir nampaknya membengkak besar sekali ya...! Eit, tapi tunggu dulu. Dalam perspektif ekonomi, kita tidak bisa menilai baik/buruknya utang negara hanya dari sisi nominal saja, karena ada banyak faktor lain seperti inflasi, perubahan nilai kurs, dan juga rasio utang terhadap PDB. Kok bisa begitu? Sabar, nanti lebih detilnya akan gua jelaskan di bawah.
Secara garis besar kira-kira gambaran utang negara Indonesia dari masa ke masa bisa lo lihat pada infographic yang dibuat oleh Liputan6 di bawah ini:
Apa sih definisi dari utang negara?
Sebelum kita bicara lebih jauh, gua mau mastiin dulu bahwa lo ngerti apa yang dimaksud dengan utang negara. Sederhananya sih, yang biasa dibilang utang negara itu mencakup di antaranya utang pemerintah dan utang swasta. Dari utang pemerintah dan utang swasta itu, ada utang yang ke pihak luar negeri, ada juga yang utang ke pihak dalam negeri. Maksudnya utang ke dalam negeri itu gimana? Ya memang bisa jadi pemerintah itu punya utang kepada masyarakat negara itu sendiri, misalnya ke elo atau gua. 🙂
Kalo utang pemerintah ya berarti pemerintah negara kita yang ngutang, kalo utang swasta ya berarti berbagai perusahaan swasta dalam negeri kita yang ngutang. Kalo utang ke pihak luar negeri itu biasanya utang ke negara lain atau organisasi internasional kayak World Bank, IMF, ADB, dan sebagainya. Sementara utang ke pihak dalam negeri ya biasanya pemerintah berhutang pada masyarakat dengan menerbitkan surat utang atau obligasi yang dijual sama pemerintah ke masyarakat umum atau ke perusahaan dalam negeri.
Nah, karena topiknya super luas, pada tulisan kali ini gua ingin fokus membahas utang pemerintah aja, baik yang ke pihak luar ataupun ke dalam negeri. Mungkin nanti lain kali gua akan bahas topik utang perusahaan swasta secara khusus di artikel lain.
Oke, balik lagi ke jumlah nominal utang negara kita tadi yang kesannya membengkak berkali-kali lipat. Kalo lo perhatikan juga, kenaikan utang kita secara nominal naik drastis sekali pada tahun 1997-1998 saat banyak negara Asia mengalami krisis ekonomi moneter yang sangat hebat. Salah satu dampak dari krisis itu untuk negara kita adalah penurunan nilai Rupiah terhadap US Dollar (USD), yang tadinya 1 USD seharga Rp. 2.600, sekarang kan 1 USD seharga Rp. 13.500. Malahan waktu tahun 1997-1998 itu 1 USD sempet loh nyampe ke angka Rp. 17.000. Makanya utang negara kita pada waktu 1998 dan beberapa tahun setelahnya juga keliatannya naiknya gila-gilaan. Bahkan sampai tahun 2016 sekarang ini pun, utang negara kita secara nominal bertambah terus. Wah berarti perekonomian Indonesia makin buruk aja dong? Buktinya, utang Indonesia terus menumpuk!
Jawaban singkat dari gue:
Nggak, perekonomian Indonesia nggak semakin buruk dibandingin sama tahun 1998, bahkan sebenernya malah membaik. Bahkan kalo mau bicara soal utang negara, sebenarnya utang Indonesia tahun 2016 secara riil itu lebih sedikit daripada 1998.
Lho kok gua bisa berkesimpulan begitu? Bukannya utang Indonesia 2016 secara nominal lebih gede dari tahun 1998? Nah, mari kita belajar mengenal apa yang dimaksud dengan rasio utang.
Apa itu Rasio Utang?
Bicara soal utang, masyarakat umum terbiasa melihat konteks utang dari sisi nominal saja. Hari ini kita hutang ke warung Rp 20.000, besok kita nambah utang lagi jadi Rp 30.000. Berarti utang kita terus bertumpuk dan makin banyak. Nah, dalam konteks ekonomi makro, khususnya dalam skala kenegaraan, kita tidak bisa melihat utang dari sisi nominal saja seperti utang ke warung.
Mungkin akan lebih mudah dipahami, jika gua menerangkan dengan perumpamaan Indonesia sebagai 2 sosok individu yang berutang ya, katakanlah ada 2 orang bernama Agus dan Budi. Si Agus punya pendapatan Rp 1 juta per bulan, dan ternyata dia punya utang sebesar Rp 12 juta yang harus dilunasi dalam 1 tahun. Artinya, jika dia mencicil utang 1 juta per bulan, dalam 1 tahun dia bisa melunasi utangnya tepat waktu kan? Sederhananya total pendapatan dia = total utang, atau utang Agus adalah 100% dari pendapatannya kan?
Sekarang di sisi lain, si Budi punya pendapatan Rp 5 juta per bulan, dimana dia memiliki utang sebesar Rp 20 juta yang harus dia lunasi selama 1 tahun. Secara nominal, utang Budi lebih besar ya daripada utang si Agus. Tapi jika dilihat dari perspektif "sejauh mana kemampuan Budi untuk mempertanggungjawabkan utangnya", kita bisa mengukur dari rasio jumlah utang yang harus dia bayar selama 1 tahun, dibandingkan dengan total pendapatan dia 1 tahun. Hasilnya, total pendapatan dia Rp 5 juta x 12 bulan = Rp 60 juta ; dibagi dengan total hutang Rp 20 juta, jadi rasio utangnya Budi adalah 33,3% dari pendapatan Budi.
Itulah yang disebut dengan rasio utang. Semakin kecil rasio utang, berarti semakin besar daya atau kapasitas dari subjek yang berutang, untuk bisa mempertanggungjawabkan atau melunasi utangnya. Nah, rasio utang inilah yang lebih akurat untuk mengukur utang pada skala kenegaraan. Lalu total pendapatan negara Indonesia ini ukurannya apa? Biasanya yang paling umum dipakai adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Oke, terus gimana dong rasio utang negara Indonesia, jika dibandingkan dengan pendapatannya (PDB)? Nah, kita bisa lihat persentasenya dari gambar sebelumnya. Nih gua tampilkan sekali lagi ya:
Angka dalam persen di gambar di atas ini nunjukkin rasio utang negara kita (pemerintah dan swasta) terhadap PDB kita pada tahun yang bersangkutan. Jadi kalo dibilang rasio utang pada zaman Presiden Soeharto 57,7% itu berarti utang negara kita sebesar 57,7% dari PDB kita di tahun 1998, dan nominalnya sebesar Rp. 551,4 triliun. Malahan di tahun 1999 utang negara kita sebesar 85,4% dari PDB kita di tahun itu dan nominalnya sebesar Rp. 958,8 triliun.
Dari sini kita bisa berkesimpulan, walaupun nominalnya utang negara kita tahun 2016 jauh lebih besar daripada utang kita pada tahun 1998, tapi rasio terhadap PDBnya jauh lebih kecil, yaitu 27,5%. Artinya utang negara kita itu "cuma" sebesar 27,5% dari total pendapatan negara di tahun tersebut. Lho kok bisa? Ya bisa dong, karena PDB kita di tahun 2016 jauh lebih besar dibandingkan PDB kita tahun 1998. Jadi sebenernya secara riil utang negara kita mengecil ya.
Kenapa sih utangnya nggak kita lunasin aja, malah nambah utang melulu?
Mungkin di antara lo ada yang bingung, utang negara kan "cuma" 27,5% dari pendapatan negara, kenapa ga dilunasin aja? Kok malah nambah utang lagi jadi terus bertumpuk? Nah, lagi-lagi kita perlu melepas pola pikir utang-piutang ini dari perspektif pendek seperti utang ke warung.
Bicara soal utang negara, kita harus melihat dari kepentingan dan perspektif negara, secara sederhana negara kita punya 2 pertimbangan terkait pengalokasikan uang untuk melunasi utang:
- Kesanggupan negara untuk mempertanggungjawabkan utang di masa depan.
- Pembangunan negara pada berbagai macam sektor.
Dari 2 pertimbangan itu, negara punya 2 skenario:
- Melunasi utang, tapi pembangunan negara pada berbagai sektor melambat
- Menambah utang sejauh itu bisa dipertanggungjawabkan, untuk kemudian dipakai untuk mempercepat pembangunan negara.
Singkatnya sih, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir memilih opsi nomor 2, yaitu menambah utang (dengan pertimbangan bahwa secara rasio utang tersebut bisa dipertanggungjawabkan), untuk kemudian utang tersebut digunakan untuk mempercepat pembangunan negara.
Mungkin ada di antara lo yang mikirnya : Ngapain sih kita sampe ngutang-ngutang segala sama negara lain buat bikin MRT? Kalo belum cukup uangnya ya nabung dulu aja kali. Kalo kita mau ganti smartphone baru, kalo duitnya belum ada ya kan kita nabung dulu ya. Nah, di sini lah perbedaan manajemen keuangan negara sama manajemen keuangan pribadi. Dalam perspektif kenegaraan, ngutang untuk percepatan ekonomi itu hal yang normal banget.
Untuk perspektif individu, menunda membeli smartphone baru mungkin adalah hal yang sepele, tapi bagi perspektif kenegaraan? MENUNDA pembangunan MRT, bandara, jalan tol, pelabuhan, pembangkit listrik, jaringan internet... sama artinya dengan menunda kesejahteraan bagi masyarakat luas. Karena pembangunan sektor-sektor pembangunan negara, tidak sesederhana menunda membeli smartphone, tapi merupakan hal yang sangat krusial untuk memperkokoh berbagai sendi ekonomi negara dalam jangka panjang.
Di sisi lain, lo juga harus melihat bahwa percepatan pembangunan akan membuat penghasilan negara bertambah dan meningkatkan kemampuan negara untuk membayar utang yang jatuh tempo di masa depan. Contoh sederhananya, kita berutang pada Jepang untuk pembangunan proyek MRT di Jakarta. Jika proyek tersebut lancar dan mampu mempercepat perputaran ekonomi di Jakarta, di sisi lain ongkos MRT tersebut juga akan menjadi salah satu sumber pendapatan baru untuk negara. Jadi sebetulnya, jika pengalokasian utang tersebut tepat sasaran pada sektor-sektor yang produktif, sebetulnya pembangunan tersebut bisa sekaligus menjadi sumber pendapatan baru untuk melunasi utang.
Emangnya negara-negara lain juga berutang seperti Indonesia?
Mungkin masih ada yang penasaran dengan statement gua di atas, bahwa: dalam skala kenegaraan, ngutang itu adalah hal yang wajar dan normal banget.
Terus emangnya negara lain juga berutang? Iya, hampir semua negara di dunia ini punya utang kok! Bahkan negara-negara maju yang perekonomiannya paling kuat sekalipun punya utang. Katakanlah negara dengan perekonomian nomor 1 di dunia, yaitu Amerika Serikat, mereka punya utang. Negara kedua yang ekonominya maju itu Tiongkok, juga punya utang loh. Begitu juga negara-negara maju yang perekonomian negaranya sangat kuat seperti Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Singapura, Australia, dll juga punya utang loh. Bahkan bisa dikatakan rasio utang negara-negara tersebut lebih besar daripada rasio utang Indonesia terhadap PDB-nya. Berikut beberapa data yang bisa gua tampilkan:
Nah, lo bisa lihat ya perbandingan utang-utang negara di dunia, bisa dibilang rasio utang Indonesia masih sangat kecil dibandingkan negara-negara maju tersebut. Misalnya aja utang negara AS, yang terkenal sebagai perekonomian nomor satu di dunia ini, mereka tuh utangnya lebih dari 100% dari PDBnya di tahun 2016 lalu. Gila kan? Tapi kok ngga bangkrut sih? Inilah refleksi dari kekuatan ekonomi negara AS, karena perekonomian negaranya begitu kokoh dan proyeksi perkembangan ekonominya di masa depan juga bagus, jadi para pemberi utang juga jadinya percaya aja bahwa AS mampu untuk mempertanggungjawabkan utangnya pada saat jatuh tempo.
Kalo semua negara ngutang, terus yang ngasih utang siapa?
Jadi negara-negara ini pada ngutang ke siapa sih sebenernya? Nah mungkin gambar di bawah ini bisa bantu lo memahami masalah utang negara ini nih. Kita ambil contoh kasus Amerika Serikat ya, tadi kan kita udah lihat tuh utang AS lumayan gede. Nah sekarang kita lihat siapa saja sih pemberi utang negara AS:
Nah keliatan kan ya ada beberapa pihak yang punya piutang ke AS, misalnya aja China, Jepang, Belgia dan beberapa negara lainnya; terus ada berbagai lembaga investasi seperti Civil Service Retirement Fund (Dana Pensiun Pegawai Negeri Sipil), terus ada juga individual dan institusi AS.
Ini mungkin membingungkan awalnya. Tapi gini, untuk sebuah negara, ngutang bukanlah sebuah hal yang tabu, aneh, atau hal yang memalukan. Konteks ngutang dalam skala negara gini, meliputi juga piutang negara tersebut kepada negara lain. Dimana semua dinamika utang-piutang antar negara dan lembaga keuangan ini, diperhitungkan dengan cukup detil sampai pada masa jatuh temponya.
Negara mana sih yang paling banyak ngutangin Indonesia?
Utang Indonesia saat ini mayoritas dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) yang mana per Februari 2017 berada di angka 2,848.80T atau 79.4% dari total seluruh utang. Sisanya berupa pinjaman berada di angka 740.32T atau 20.6% dari total seluruh utang. Pinjaman luar negeri Indonesia terdiri dari pinjaman bilateral (pinjaman ke sebuah negara), pinjaman multilateral (misalnya pinjaman ke IMF, ADB) dan pinjaman bank komersial dan supplier.
Bisa lo lihat di data di atas, Jepang mendominasi utang bilateral Indonesia dengan nominal 201.80T atau 5.6% dari keseluruhan utang Indonesia. Negara-negara lain persentasenya berada di bawah 1%. Sedangkan utang multilateral didominasi dari Bank Dunia (World Bank) dan Asian Development Bank (ADB).
Mekanisme negara kalo mau nambah utang itu gimana sih?
Mungkin masih ada yang mikir kalo mekanisme negara nambah utang itu = negara begitu aja dikasih atau ditransfer duit oleh negara/institusi keuangan. Nggak begitu caranya. Jadi gini, kalau katakanlah negara AS mau nambah utangnya, mereka nggak begitu saja mintain duit ke negara lain. Pemerintah AS dan Bank Sentral AS atau biasa disebut Federal Reserve (The Fed), menerbitkan surat utang atau biasa disebut surat berharga (US Treasury Bill), contohnya obligasi. Nah, surat utang ini, dijual ke pihak lain, bisa ke individu, lembaga keuangan, atau bahkan negara lain. Setiap surat utang ini, ada semacam masa aktif dan juga bunga per tahunnya.
Jadi kalo misalnya gue beli surat utang negara AS, selain gua mendapatkan hak untuk menagih kembali piutang gue saat jatuh tempo, gua juga akan mendapatkan bunga per tahun. Selain itu, gua juga bahkan bisa memperjual-belikan surat utang ini kepada pihak lain sebelum jatuh tempo pelunasannya. Jadi sebenernya, penjualan surat utang oleh negara ini juga seringkali dilihat sebagai instrument investasi bagi masyarakat umum, perusahaan, bahkan bagi negara lain.
Jadi dalam perspektif tertentu, negara nambah utang itu ibarat dia mencetak uang baru aja. Cuma bentuknya bukan mencetak uang Rupiah secara fisik, tapi mencetak surat utang, yang dijual kepada pihak lain, lengkap dengan masa berlaku dan juga bunga per tahun. Kebayang ya maksudnya gimana. 🙂
Jadi sebenernya ngutang tuh hal yang positif apa negatif sih?
Jawaban gue: Tergantung, khususnya pada 2 hal berikut:
- Utangnya bisa dipertanggungjawabkan atau nggak. (baca: bisa dilunasi ketika jatuh tempo)
- Utangnya dipakai untuk hal yang bersifat produktif atau nggak.
Selama 2 hal itu terpenuhi, gua pribadi berpendapat bahwa utang dalam skala negara itu wajar-wajar saja, malah bagus kalo bisa mempercepat pengembangan ekonomi di masa depan. Hal yang jadi masalah adalah ketika negara kita ngutang, tapi terus nggak jelas penggunaannya untuk apa. Bisa jadi alokasinya pada sektor yang nggak produktif, atau malah dikorupsi oknum-oknum tertentu. Nah, kalo begitu, baru deh kita sebagai masyarakat berhak untuk protes tentang kebijakan utang negara.
Tapi kalo kita sebagai masyarakat protes karena kesannya negara nambah utang dan nominalnya terus bertambah, rasanya kurang tepat juga ya. Karena kita cuma asal protes tanpa memahami konsep rasio utang negara, dan juga penggunaan anggaran negara untuk perkembangan ekonomi makro.
Sampai kapan Indonesia harus terus berutang?
Nah, kalo pertanyaan ini terus terang gua ga bisa jawab secara pasti. Tapi kalo dari opini gua pribadi, jawabannya : ya sejauh mana utang itu diperlukan. Sekali lagi, jangan terjebak dengan perspektif seperti utang ke warung:
"Wah Indonesia utangnya banyak! Payah nih, berarti negara harus berusaha gimana caranya untuk bisa melunasi utang dan jadi negara bebas dari utang. Kan malu-maluin kalo Indonesia berutang terus."
Jangan mikirnya kayak begitu ya. Sekali lagi, dalam skala negara, utang adalah hal yang sangat wajar dan normal. Kita jangan terpaku pada objektif bahwa Indonesia harus segera melunasi utang. Hal yang justru harus dipikirkan adalah: pengelolaan dana kas negara (APBN & APBD) yang baik. Bagaimana caranya agar utang tersebut teralokasikan tepat sasaran pada sektor-sektor produktif, sehingga pembangunan negara berjalan dengan baik, negara punya sumber pendapatan baru, dan bisa melunasi utang pada saat jatuh tempo.
Bagi negara, utang itu menguntungkan (jika dilalokasikan dengan tepat), bagi pemberi utang juga menguntungkan (sebagai media investasi). Bagi kedua pihak jadi win-win solution kan? Jadi sampai kapan negara akan terus berutang? Ya sejauh mana hal itu diperlukan.
Sumber : Zenius.net